SEDIKIT TENTANG RUMI DAN MASNAWI *
Terlahir dengan nama lengkap
Maulana Jalaluddin Rumi Muhammad bin Hasin al-Khattabi al-Bakri pada 30
September 1207 M di Balkh (Afghanistan sekarang) dari keluarga ulama di
lingkungan kerajaan, Rumi kecil dikenal sebagai anak yang cerdas dan
berbakat. Rumi belajar tasawuf pada
Burhanuddin Tirmidi, Ibnu Arabi, dan Syamsiddin Tabriz. Dari beberapa
referensi, diketahui bahwa Syamsiddin Tabrizlah yang paling mempengaruhi
pemahaman dan pengamalan kesufian Rumi.
Syamsiddin Tabriz adalah seorang
darwish (orang suci pengembara) yang memiliki pemikiran kritis, radikal, dan
birlian. Pertemuan dengan Tabriz terjadi setelah Rumi mengajar ilmu kalam dan
kerohanian selama lima tahun di sekolah yang dibangun ayahnya dulu di kota
Konya. Saat itu, Rumi sedang mengalami kegelisahan dan ketidakpuasan terhadap
pengetahuan, pemikiran, dan kehidupan beragama yang konvensional. Kegelisahan
dan ketidakpuasan ini dialami Rumi setelah cukup mengetahui dan memahami baik
kekuatan maupun kelemahan manusia dari pergaulannya yang luas saat memberikan
petunjuk kerohanian bagi orang-orang Turki, Yunani, Persia, dan Arab.
Tulis Abdul Hadi W. M. dalam bukunya, Rumi Sufi dan Penyair, “Masnawi merupakan uraian-uraian tasawuf dalam bentuk kias-kias yang
puitik yang terdiri dari enam jilid,”.
Masnawi yang sampai ke tangan saya
adalah hasil terjemahan yang dilakukan Abdul Hdi W. M. atas Rumi: Poet and Mystic, buku karya R. A. Nicholson yang berisi
terjemahan bahasa Inggris dari Masnawi karya
Rumi.
Puisi-puisi dalam Masnawi hasil terjemahan Abdul Hadi W. M. menggunakan bahasa yang lugas, segar, dan dalam. Karya yang banyak menginspirasi banyak
pemikir dan penyair dunia ini berbicara tentang banyak hal dengan banyak
perumpamaan. Ia bericara tentang hakikat kelahiran, Tuhan, manusia, tidur, kematian;
berbicara tentang keutamaan sufi, hati yang suci, optimisme, pengetahuan,
keyakinan, keseimbangan, perempuan, cinta; juga tentang kebaikan dan keburukan
yang bersumber dari dalam diri, hawa nafsu, pluralisme, taklid, usaha untuk mencapai
ma’rifat, tubuh dan ruh. Kiasan, kisah, fabel, dan diksi yang Rumi gunakan pun hadir dengan cara dan kekuatan yang
unik, beragam, mengejutkan, dan terasa sangat alami.
Rumi mendalami tasawuf jauh
sebelum ia mengenal puisi. Puisi bagi Rumi lebih sebagai alat untuk
menyampaikan gagasan dan keyakinan tasawufnya. Meski memang,
keindahan puisi-puisinya tidak bisa kita anggap tidak ada. Metafor, diksi, dan unsur bunyi dalam
puisi-puisi Rumi yang terangkum dalam Masnawi
diakui oleh para ahli puisi sufi paling unggul di antara penyair-penyair
sufistik lain yang sejaman maupun sesudahnya. Saya bersyukur sebab keunggulan tersebut masih dapat dinikmati
bahkan pada karya terjemahan dari
tangan kedua. Empat larik pertama puisi “Mudah dan Sukar Tak Ada” di
bawah ini, misalnya:
Ketika
kaumulai menaruh muatan di kapal, yakinlah bahaya sedang
melintang.
Sebab
kau tak tahu apakah kapal akan tenggelam atau selamat tiba
di daratan.
Tentang pengertian sufi sendiri,
Rumi menjelaskannya dengan bahasa yang sahaja, mengena, dan indah. Seperti yang
tertulis di dua larik pertama “Sufi Sejati” berikut ini:
Apa
yang membuat orang jadi sufi? Hati yang bersih.
Bukan
baju yang kumal dan nafsu yang liar.
Tadinya, untuk memahami beberapa puisi dalam Masnawi ini, saya berniat menggunakan beberapa teori yang saya kira
dapat membantu, misalnya dan genetika Goldmann untuk “Penglihatan Sufi”; semiotika
Pierce untuk “Kejahatan di Dalam Diri” dan “Tak Terlahirkan”; naratologi
Todorov untuk “Orang yang Suka Memalingkan Diri dalam Perjalanannya Menuju
Neraka”; feminisme Virginia Woolf untuk “Cinta Wanita”; dan psikoanalisa Freud
untuk “Sebuah Tidur dan Sebuah Kealpaan” dan “Musik Kenangan”. Tapi setelah
membaca baris-baris puisi dalam “yang Menerangkan Cinta adalah Cinta Sendiri” berikut:
Cinta akan membimbing kita ke Sana pada
akhirnya.
Pikiran akan gagal menerangkan cinta
Seperti keledai di lumpur: Cinta
sendirilah pengurai cinta.
Tidakkah matahari sendiri yang menerangkan
matahari?
saya
merasa bahwa adalah kurang berguna –untuk tidak mengatakan percuma- menggunakan
teori-teori yang saya sebutkan sebelumnya untuk memahami puisi-puisi dalam Masnawi. Walaupun sadar bahwa perasaan
saya ini juga tidak bisa dibilang benar. Tapi bukanah lebih baik jika pembaca
baca sendiri keindahan dan kedalaman puisi-puisi Rumi dalam Masnawi ini? Sebab “Tidakkah matahari sendiri
yang menerangkan matahari?”
*
Dibuat
sebagai pengantar pada diskusi tentang
salah satu karya berupa
kumpulan puisi
penyair dan mistikus
Jalaluddin Rumi
di Sanggar Sastra
Tasik,
Jumat 15 April 2011
Komentar
Posting Komentar