Pedagogi, Kesadaran, dan Berpikir Kritis

Pedagogi, Kesadaran, dan Berpikir Kritis:
Ringkasan Ajaran Freire dan McLaren dan Perbedaan Pedagogi Kritis
dengan Berpikir Kritis

Oleh: Wahyudi Yuli

Filsafat pendidikan Freire dipengaruhi oleh berbagai pemikiran yang berkembang menjelang pertengahan abad 20. Beberapa aliran pemikiran yang mempengaruhi lahirnya pedagogi kritis – demikian filsafat pendidikan Freire dinamai – adalah marxisme kultural, postkolonialisme, humanisme, postmodernisme, dan eksistensialisme. Sampai hari ini, filsafat pendidikan Freire terus mengalami perkembangan dan pembaruan. Tulisan ini merupakan semacam rangkuman singkat dari semesta tradisi pedagogi kritis yang luas untuk kemudian dibandingkan dengan pemikiran yang datang dari tradisi yang sangat berbeda tapi memiliki persinggungan; berpikir kritis.

Filsafat pendidikan Freire adalah pendidikan untuk pembebasan. Freire memandang pendidikan bukan sebagai entitas yang berdiri sendiri dan terpisah dari produk budaya yang lain seperti sistem ekonomi, kesenian, sistem politik praktis dan nilai-nilai spiritual yang dipercaya sebuah komunitas. Tidak ada pendidikan yang benar-benar netral. Tidak ada pendidikan yang apolitis. Maka pilihannya, pendidikan digunakan sebagai alat melegitimasi dan mereproduksi budaya dan kuasa yang telah melembaga atau untuk kepentingan memanusiakan manusia dan memberdayakan masyarakat dengan meningkatkan kesadaran kritis agar mau dan mampu berpikir juga bertindak kritis untuk mewujudkan keadilan dan kesetaraan sosial. Peningkatan kesaradaran kritis dalam pandangan pedagogi kritis dapat diupayakan dengan cara menghadirkan permasalahan ekonomi, politik dan budaya yang dihadapi masyarakat sehari-hari.

Teori dan praktek pendidikan Frerie hadir sebagai tanggapan dan kritikan terhadap sistem pendidikan modern yang dia namakan ‘sistem pendidikan bank’. Dalam sistem pendidikan bank, siswa diibaratkan sebuah akun bank kosong yang diisi oleh guru. Dalam sistem pendidikan tersebut, menurut Freire, terjadi sebuah praktek dehumanisasi, di mana hakikat kemanusiaan siswa direduksi semata menjadi objek pasif yang menerima tuangan pengetahuan dari guru. Pengalaman dan pengetahuan yang telah dimiliki siswa sebelum masuk kelas seringkali diabaikan dan tidak diakomodasi. Lebih dari itu, sistem pendidian bank seringkali digunakan seagai alat untuk melanggengkan praktek penindasan dengan mengalienasi para peserta didik dari persoalan-persoalan yang mereka hadapi sehari-hari.

Secara sederhana, esensi ajaran filsafat pendidikan Freire dapat dimengerti dengan memahami beberapa prinsip yang terangkum di dalam buku Pedagogy of the Oppressed – buku ini adalah satu dari tiga buku penting yang ditulis Freire tentang pedagogi kritis selain Education for Critical Consciousness dan The Politics of Education. Buku tersebut adalah kombinasi pemikiran Freire tentang teori filsafat, politik, dan pendidikan. Dua prinsip terpenting dalam buku tersebut adalah dialogue dan problem-posing education.

Dialogue atau dialog adalah representasi dari keyakinan Freire atas hakikat hubungan manusia dan kemanusiaan. Dia percaya bahwa esensi hubungan manusia adalah negosiasi dan pertukaran informasi, pengalaman, juga pengetahuan demi tercapainya kehidupan bersama yang lebih baik. Prinsip ini didasarkan pada keyakinan bahwa dunia atau kehidupan yang dijalani bukan merupakan kehidupan yang statis, tetapi dinamis dan terus berubah. Dialogue memungkinkan pengalaman yang dialami sehari-hari menjadi pengetahuan untuk kemudian digunakan untuk memperoleh pengetahuan-pengetahuan baru. Menurutnya, Dialogue mesti dilandasi harapan, cinta dan saling percaya pada sesama manusia. Dalam dialogue, hubungan antar manusia adalah hubungan yang setara. Satu kutipan dari Freire yang bisa diterapkan dalam pendidikan untuk menggambarkan hubungan dialogis adalah, “Tidak ada manusia yang tahu segalanya. Semua manusia mengetahui sesuatu dan tidak mengetahui sesuatu yang lain. Saya mungkin mengetahui sesuatu yang tidak kalian ketahui, begitu pun kalian.”

Dalam melaksanakan dialogue di ruang kelas, guru bukan hanya seroang yang mengajar, tetapi juga seorang yang belajar bersama dan dari siswa. Baik siswa maupun guru sama-sama berbagi gagasan dan pandangan. Dialogue harus dilakukan dalam komunikasi dua arah. Meski demikian, guru tetap memiliki otoritas yang dapat digunakan untuk memastikan bahwa kegiatan di kelas tetap berjalan agar tujuan yang telah disepakati oleh guru dan siswa tetap tercapai. Dialogue bisa dilakukan dengan menegosiasikan setiap keputusan yang diambil di ruang kelas. Maka konsekuensi logisnya, ruang kelas menjadi sulit diprediksi dan seringkali terjadi perubahan-perubahan baik berkaitan dengan materi yang digunakan maupun kegiatan yang dilakukan. Menghadapi hal ini, guru dituntut untuk lebih siap dan selalu meninjau ideologi mereka tentang pembelajaran, pedagogi, juga harapan kepada siswa mereka.

Problem-posing education atau pendidikan hadap-masalah adalah prinsip pedagogi kritis terpenting lain dari esensi ajaran Frerie. Frerie berpendapat bahwa praktek pendidikan yang mengalienasi dan mengesampingkan masalah-masalah yang dihadapi peserta didik seahari-hari sebagai materi belajar yang berharga perlu diakhiri. Maka, dengan prinsip ini, Freire percaya bahwa setiap peserta didik memiliki masalah yang berharga untuk dijadikan titik keberangkatan dan bahan pembicaraan dalam kegiatan belajar-mengajar di kelas. Berkaitan dengan pendidikan untuk pembebasan, prinsip ini memberikan keleluasaan bagi pendidik dan peserta didik untuk melihat lebih dekat penyebab masalah-masalah yang mereka hadapi dan mendiskusikan pilihan-pilihan solusi yang mereka miliki. Prinsip ini merupakan teori yang dihasilkan Freire dari pengalamannya membuat dan menjalankan program literasi kepada para kelas pekerja di beberapa negara dunia ketiga. Peserta programnya mampu belajar dari kenyataan dan masalah yang mereka hadapi sehari-hari dan bahkan mampu mengaitkannya dengan konteks yang lebih luas. Beberapa referensi menggunakan istilah reading the world and the word (membaca dunia dan kata) untuk merujuk kepada prinsip ini.

Frerie percaya bahwa sebelum peserta didik belajar membaca dan menulis, mereka harus membaca dan menulis kehidupan mereka. Artinya, mereka harus membahami kehidupan sehari-hari mereka atau kehidupan yang berkaitan dengan mereka. Menurut Freire, membaca adalah kegiatan menulis kembali apa yang sedang dibaca. Membaca adalah menemukan hubungan antara teks dengan konteks, baik konteks dari teks maupun konteks dari pembaca. Kunci dari prinsip membaca dunia dan kata ini adalah mengaitkan kegiatan di ruang kelas dengan dunia yang lebih luas. Maka, topik yang dibicarakan di kelas bukan hanya tentang pelajaran yang ada silabus resmi, tapi juga tentang permasalahan sosial, ekonomi, kultural, dan politis yang dihadapi siswa sehari-hari.

Selain kedua prinsip tersebut, ada beberapa istilah lain yang penting untuk juga dipahami. Tiga diantaranya adalah praksis, kesadaran kritis, dan kelas demokratits. Praksis adalah aksi-refleksi kritis terhadap dunia untuk merubahnya menjadi lebih baik. Refleksi yang benar selalu membawa kepada sebuah aksi.  Kesadaran kritis adalah jenis kesadaran yang menjadi tujuan pedagogi kritis untuk dimiliki para peserta didik, dan meninggalkan kesadaran magis dan kesadaran naïf mereka. Kesaradaran kritis merupakan kesadaran yang merepresentasikan kenyataan dan fakta-fakta sebagai hal-hal yang mempunyai hubungan sebab-akibat dan terikat dengan konteks ruang dan waktu. Kesadaran kritis selalu membawa kepada tindakan kritis. Menurut Frerie, upaya meningkatkan kesadaran kritis di ruang kelas saja tidak akan cukup untuk mengakhiri penindasan dan mewujudkan keadilan sosial. Meningkatnya kesadaran kritis masyarakat sebagai dampak dari pendidikan harus diimbangi dengan gerakan atau tindakan politis yang nyata agar hasil kajian bersama di kelas dapat terwujud dalam bentuk kebijakan publik yang berpihak tidak hanya pada segelintir orang. Kelas demokratis adalah konsekuensi dari aplikasi dialogue di ruang kelas. Di dalam kelas demokratis, guru beserta siswa saling menghormati dan menghargai keberagaman. Di kelas demokratis juga, siswa berpartisipasi aktif dalam setiap kegiatan pembelarajan dan bernegosiasi.

Frerie tidak memberi panduan bagaimana seorang pendidik harus mengaplikasikan pedagogi kritis di ruang kelas. Sebab menurutnya, setiap ruang kelas memiliki perbedaan masalah dan konteks yang unik. Dalam beberapa tulisannya, dia hanya menjabarkan bagaimana dulu ketika dia merencanakan dan menjalankan program literasi untuk usia dewasa di beberapa negara bekas jajahan. Namun demikian, dari beberapa teoretikus pedagogi kritis dan penelitian yang mengaplikasikan pedagogi kritis, dapat disimpulkan paling tidak lima kegiatan yang bisa dilakukan di kelas pedagogi kritis. Pertama, melaksanakan diskusi kelompok dan diskusi kelas. Kedua, menciptakan kelas yang demokratis. Ketiga, menghadiran dan mendiskusikan masalah-masalah yang dihadapi siwa-siswa sehari-hari. Keempat, menggunakan beragam materi pembelajaran autentik yang problematis. Kelima, mendorong siswa untuk berpikir dan bertindak kritis.

Freire memiliki banyak pengikut dari berbagai belahan dunia. Salah satu yang terpenting adalah Peter McLaren. Pedagogi kritis, menurut McLaren, menyediakan panduan kultural, politis, dan etis untuk praktisi pendidikan yang masih memliki harapan untuk membuat kehidupan sosial lebih baik. McLaren berpendapat bahwa tujuan pedagogi kritis adalah memberdayakan orang-orang yang terpinggirkan dan mewujudkan keadilan dan kesetaraan sosial. Dia menekankan peran pendidikan untuk kepentingan politis dalam arti perbaikan kehidupan sosial. Menurut McLaren, pada dasarnya, pedagogi kritis adalah tentang memahami hubugan antara kekuasaan dan pengetahuan. Dari sudut pandangan pedagogi kritis, pengetahuan bukan merupakan produk budaya yang netral. Pengetahuan adalah konstruk sosial yang berakar pada hubungan kuasa. Artinya bahwa dunia yang kita tinggali ini dibentuk secara simbolis oleh pikiran melalui interaksi sosial dengan orang lain dan bergantung kepada konteks, kebudayaan, dan sejarah. Di dalam banyak tulisannya, dia mengkrontaskan pedagogi kritis dengan berpikir kritis. Menurut dia, berpikir kritis berasal dari tradisi liberal, neokonservatif, dan positivistik yang mereduksi kata ‘kritis’ menjadi hanya kemampuan berpikir yang dipisahkan dari sifat politis dan konteks sosial yang menyertainya.

Baik pedagogi kritis maupun berpikir kritis sama-sama menggunakan kata ‘kritis’. Tetapi, kedua tradisi tersebut menafsirkan kata ‘kritis’ secara berbeda. Sementara pedagogi kritis memahami kata ‘kritis’ sebagai sebuah kepaduan aksi-refleksi kolektif yang dilakukan untuk mengakhiri praktek-praktek penindasan dan mewujudkan keadilan sosial, tradisi berpikir kritis menafsirkan ‘kritis’ sebagai sebuah kemampuan kognitif dalam mengevaluasi informasi untuk membuat keputusan apa yang akan dipercaya dan dilakukan. Dengan kata lain, sementara tradisi pedagogi kritis beranggapan bahwa berpikir kritis dan berpikir politis tidak bisa dipisahkan; tradisi berpikir kritis hanya berusaha untuk mengajarkan berpikir kritis, bukan bagaimana berpikir politis. Pedagogi kritis fokus pada pemahaman dan gerakan sosial, sedangkan fokus berpikir kritis ada pada kemampuan berpikir individu. Selain itu, tradisi pedagogi kritis beryakinan bahwa tidak ada informasi yang netral dan melihat sebuah fenomena bukan sebagai sesuatu yang terpisah dari fenomena dan fakta yang mengelilinya; tradisi berpikir kritis melihat informasi hanya pada urutan logika dan kesahihan argumen yang membangunnya dan mengesampingkan apa yang ada di luar informasi tersebut.

Walaupun demikian, seperti yang dikatakan Frerie, untuk mencapai transformasi sosial, setiap individu dalam komunitas tertentu harus telah memiliki perangkat yang memungkinkan terjadinya transformasi sosial tersebut. Perangkat itu, dalam pandangan tradisi pedagogi kritis adalah kesadaran kritis. Dan karena dalam kesadaran kritis itu terdapat pemahaman sebab-akibat akan sebuah fenomena sosial, maka kemapuan berpikir kritis dalam hal ini merupakan bagian dari kesadaran kritis. Dalam salah satu artikel yang membahas hubungan dan perbedaan tradisi pedagogi kritis dan tradisi berpikir kritis, Burbules dan Berk mengatakan bahwa kedua tradisi tersebut, dengan cara yang berbeda, ingin mengatakan kepada khalayak, “Jangan biarkan diri kalian terperdaya.”

Daftar Pustaka
Burbules, N. C., & Berk, R. (1999). Critical thinking and critical pedagogy: Relations, differences, and limits. In T. S. Popkewitz, & L. Fendler, Critical theories in education (pp. 45 - 66). New York: Roudtledge.
Cho, S. (2013). Critical pedagogy and social changes. London: Roudtledge.
Ennis, R. H. (1996a). Critical thinking. New Jersey: Prentice Hall.
Freire, P. (2005b). Education for critical consciousness. New York: Continuum.
Freire, P. (2005a). Pedagogy of the oppressed. New York: Continuum.
Freire, P., & Macedo, D. (2005). Literacy: Reading the word and the world. London: Routledge.
Kaufmann, J. J. (2010). The practice of dialogue in critical pedagogy. Adult education quarterly 60(5) , 456-476.
McLaren, P. (2002). Critical pedagogy and predatory culture: Oppositional politics in a postmodern era. London: Routledge.
McLaren, P. (2003). Life in cchools: An introduction to critial pedagogy in the foundations of education. New York: Allyn and Bacon.
Mochinski, T. (2008). Critical pedagogy and the everyday classroom. New York: Springer.
Shor, I., & Freire, P. (1987). A pedagogy for liberation. Massachusetts: Bergin & Garvey Publishers.
Thinsan, S. (2015, February 7). Critical thinking and critical pedagogy: Similarities, differences, and critiques. Retrieved August 15, 2015, from http://thinsan.org/2015/02/07/critical-thinking-and-critical-pedagogy-similarities-differences-and-critiques/

Komentar

Postingan Populer