ULTIMUM FABULA


ULTIMUM FABULA

Lewat tengah malam. Orang-orang dengan muka pucat
datang dari barat, lalu rebah berdesakan di kamarku.
Mereka tak terganggu bau liur juga keringat kita
yang tajam. Kubiarkan mereka; mengambil sehelai
rambutmu yang dulu kuselipkan di antara dua halaman
buku The Future of Capitalism, lalu berdansa bersamanya
diiringi Confutatis dan Lacrimosa.

Menjelang terang. Dengan dada hampir meledak
dan isi kepala nyaris muncrat, aku keluar kamar.
Lampu-lampu jalan dan bangunan-bangunan padam.
Udara lembab. Bau beton, besi, dan aspal basah, juga
kicau burung entah dari jam dinding di rumah siapa.
Kubayangkan kau di sini bersamaku; berpeluk-ciuman
tanpa seorang pun menyaksikan.

Hari telah terang. Aku tak membeli koran. Sepatu, celana,
dan jaketku tertutup debu. Berhenti di persimpangan, sayang,
jalanan macet. Orang-orang dengan tengkorak yang retak
berkelahi berebut jalan. Pemenang menguliti dan memakan
daging yang kalah mentah-mentah. Ingin muntah, aku dekati
tong sampah. Tapi di sana, di antara kardus bungkus
makanan siap saji, pecahan botol kaca, kaleng karatan,
lilitan kabel dan besi bekas dan plastik bening yang
menguning, lima bayi berderet, merengek,
seperti minta disusui.

Langit warna-warni. Matahari coba sembunyi.
Aku ingin pulang sebelum gelap: memutar
Grande valse brillante, menyeduh kopi,
kemudian membakar diri dan segala
kenangan dengan pemantik yang
kauberikan.


2012

Komentar

Postingan Populer