Melampaui Budi


“Ini Budi.  Ini bapak Budi. Ini ibu Budi.
Bapak pergi ke kantor. Ibu pergi ke pasar.”
Siti Rahmani Rauf

Berkaitan dengan informasi yang dikandung sebuah teks, ada tiga tahapan kemampuan membaca: membaca harfiah, membaca inferensial, dan membaca kritis. Dan kita, sebagian besar warga Indonesia, sejak belia diajarkan semata membaca harfiah. Membaca, menerima, dan percaya pada apa yang eksplisit tertulis. Padahal, dua tahapan membaca berikutnya sangat penting untuk juga dilakukan, apalagi ketika arus informasi – yang sering kali bias nilai kebenarannya – mengalir begitu deras seperti hari ini.

Kemampuan membaca inferensial adalah kemampuan menghubungkan informasi yang didapat dari susunan huruf yang tertulis dengan pengetahuan siap (prior knowledge) untuk kemudian menarik kesimpulan. Kemampuan membaca kritis merupakan kemampuan membuat penilaian dan keputusan apakah informasi dan kesimpulan yang didapat setelah membaca layak dipercaya sehingga dapat digunakan sebagaimana mestinya atau tidak setelah melakukan koreksi dan mempertanyakan validitas informasi juga keterpercayaan si penulis. Kedua kemampuan ini perlu latihan, yang sayangnya, kerap tidak kita lakukan.

Kita masih menganggap ketika seseorang mampu memahami apa yang tertulis, orang tersebut telah khatam dalam pelajaran membaca. Dulu, ketika seorang siswa Sekolah Dasar telah mengenal keluarga Budi (tentu kita masih ingat Budi, Wati, Iwan, dan Ibu dan Bapak mereka), kita sering menganggap ia telah selesai belajar membaca. Padahal sejatinya belum. Itu masih membaca tahap harfiah. Akibat dari anggapan salah tersebut, kita kerap dibodohi teks-teks yang berseliweran sekarang. Maka menurut saya, sudah saatnya pelajaran membaca tidak hanya mengenalkan rangkaian rangkaian seperti “Bapak pergi ke kantor” atau “Ibu pergi ke pasar”, misalnya; tapi juga menyentuh kepada pertanyaan “Kenapa bukan bapak yang pergi ke pasar dan ibu yang pergi ke kantor?”

Dalam rangka melampaui Budi, karya sastra – dalam hal ini sastra anak – menyediakan bahan bacaan yang kaya guna. Selain sebagai bahan belajar membaca, karya sastra anak juga merupakan sumber pengetahuan imajinatif dan sarana melatih keterampilan berpikir kritis. Lebih jauh, karya sastra anak juga menjanjikan gerbang yang terbuka lebar untuk masuk ke dalam proses penanaman nilai-nilai afektif yang konon sangat diagungkan di dokumen kurikulum 2013. Maka tepat, menurut saya, jika mengawali awal tahun ajaran pertama diaplikasikannya kurikulum 2013 ini, meski telah disiapkan buku teks dari pusat, guru-guru mata pelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Dasar kembali mencari dan menggunakan karya sastra anak sebagai materi ajar yang multi guna.

Tapi, tentu bukan rahasia jika hampir setiap hal tentang anak-anak selalu mendapat tempat kedua di ranah publik masyarakat kita sekarang. Tidak terkecuali soal sastra anak ini. Jika dulu masih ada Djokolelono, Aman, Arswendo, Toha Muhtar, Murni Budinanta, dan Bung Mars yang produktif menulis karya sastra anak-anak, siapa hari ini? Tapi di sisi lain, kita mesti merasa beruntung bahwa permasalahan yang dihadapi bangsa ini belum terlalu banyak berubah sejak merdeka. Beruntung, sebab, bisa jadi, karya sastra anak dekade 70-80an atau bahkan yang lebih tua dari itu, masih kontekstual untuk dibaca atau dibacakan oleh atau kepada anak-anak kita hari ini. Bisa jadi. Barangkali.



Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer