Cinta dan Pemberontakan

Cinta dan Pemberontakan

Pemerintahan Presiden Snow di Capitol gerah, gelisah, dan marah ketika Katniss Everdeen bersama Peeta, sepasang peserta dari Distrik 12, lebih memilih memakan buah beri beracun di arena permainan Hunger Games ketimbang saling bunuh demi dikatakan sebagai pemenang – meski kemudian urung sebab peraturan permainan yang tiba-tiba dirubah. Pasalnya, tindakan tersebut dianggap Presiden Snow sebagai pembangkangan terhadap sistem ketat yang telah dibuat. Dan memang kenyataannya, adegan mengharukan yang ditayangkan langsung ke seluruh distrik melalui jaringan televisi pemerintah itu memberi harapan dan kekuatan kepada hampir seluruh penduduk negeri di luar Capitol untuk mengakhiri pengekangan juga penindasan yang mereka terima sekian lama. Setelah kejadian itu, gelombang pemberontakan berbagai skala menjamur di tiap-tiap distrik.

Peristiwa di atas dapat kita baca di novel trilogi The Hunger Games karya Suzzane Collins – dua dari tiga novel tersebut telah diangkat menjadi film. Dalam novel yang meraih berbagai penghargaan tingkat dunia tesebut, dikisahkan suka-duka perjuangan seorang gadis desa bernama Katniss Everdeen mempertahakan diri dan hidup orang-orang terdekatnya dari upaya represif penguasa. Tindakan-tindakannya yang tulus, berani, spontan, penuh kelembutan, serta murni atas nama kemanusiaan menginspirasi dan menumbuhkan simpati di hati banyak masyarakat. Rentetan peristiwa yang dialaminya baik di arena permainan maupun setelahnya, tanpa disadari malah menjadikannya simbol perlawanan atas pemerintah yang sewenang-wenang.

Membaca trilogi tersebut, saya teringat Freire. Freire, bapak pendidikan kritis berkembangsaan Brazil, menulis dalam bukunya Pedagogy of the Oppressed bahwa perlawanan terhadap penindasan mesti didasari pada rasa cinta; cinta kepada bukan hanya orang-orang tertentu, tapi kepada seluruh manusia, kepada kemanusiaan. Tidak ada tindakan revolusioner, menurutnya, tanpa cinta. Perubahan keadaan dari yang sarat penindasan hanya akan berbuah penindasan lain jika terjadi tanpa dilandaskan kepada cinta. Cinta yang dimaksud Freire adalah cinta sebenar cinta; bukan cinta sadistis – meminjam istilah Fromm – yang menghancurkan; tapi cinta yang memanusiakan dan menghidupkan.

Perlawanan terhadap penindasan tentu hanya bisa dilakukan oleh mereka yang tertindas. Mereka yang merasakan betapa tidak menyenangkannya ditindas, dirampas hak, dan dilecehkan kemanusiaannya. Tapi tidak semua yang tertindas dapat melakukan permberontakan untuk kemudian menghentikan tindakan penindasan. Karena menurut Freire, paling tidak ada empat sifat orang-orang tertindas yang membuat mereka mustahil melakukan pemberontakan. Keempat sifat tersebut adalah: fatalistik; rendahnya penghargaan terhadap diri; keinginan meniru penindas; dan ketergantungan emosional kepada para penindas.


Hanya orang-orang tertindas berkesadaran kritislah yang mampu menampik keempat sifat destruktif tersebut dari dalam dirinya. Kesadaran kritis, atau kesadaran mungkin (potential consciousness) dalam istilah Goldman, tidak mengada begitu saja. Ia hadir sebagai hasil dari proses yang kompleks dan panjang berupa pemikiran, perenungan, dan kepercayaan yang kuat kepada cinta. Dan karya sastra yang baik, baik prosa maupun puisi, dengan segala perangkat yang dimilikinya, selalu berhasil menanamkan kesadaran kritis kepada para pembacanya. Sebab karya saastra yang baik, kata Darma, selalu setia menyuarakan cinta dan kemanusiaan.

Komentar

Postingan Populer