Pendidikan Kewargaengaraan dan Kesusastraan
Pendidikan
Kewargaengaraan dan Kesusastraan
Esai ini
merupakan laporan pembacaan atas bab berjudul Value Democracy, Pluralissm, and Education for Citizenship dalam
buku Developing Pedagogy: Researching
Practice. Dalam bahasa Indonesia, arti dari judul bab tersebut adalah
Menghargai Demokrasi, Pluralisme, dan Pendidikan untuk Kewarganegaraan.
Selain rangkuman
dan pengkayaan, laporan ini juga mencakup analisis yang mengkritisi isi dalam
bab yang ditulis Don Rowe dalam konteks Indonesia. Lebih jauh, juga disinggung
penggunaan karya sastra untuk pengajaran pendidikan kewarganegaraan agar
peserta didik dapat menghargai keberagaman dalam masyarakat yang demokratis.
Rangkuman
Sekolah, menurut
laporan yang dikeluarkan UNESCO pada tahun 1993, mesti menjadi tempat di mana ‘perdamaian,
hak asasi manusuia, toleransi, pemahaman lintas budaya dan lintas bangsa, keja
sama dan solidaritas, penyelesaian konflik dengan damai dan organisasi
demokratis dikembangkan.’ Tapi, untuk mencapai tujuan ini tidak mudah karena
guru seringkali berhadapan dengan murid yang berasal dari umur, kemampuan,
perilaku, dan norma-norma yang berbeda. Kesulitan itu semakin dipesulit oleh
sifat kontroversial dari mata pelajaran untuk menyampaikannya.
Fokus utama dari
bab ini adalah berbagai bentuk pendekatan terhadap pendidikan kewarganegaraan
yang telah berlangsung lama di masyarakat demokratis dalam merespon secara
langsung kehadiran nilai-nilai pluralisme. Ada tiga kategori dalam pembelajaran
kewarganegaraan yang berkaitan dengan perkembangan aspek moral dan sosial
peserta didik. Kategori-kategori tersebut adalah model kognitif, afektif, dan
aktif atau model pengalaman. Model kognitif dibagi menjadi model pengetahuan
konstitusional, patriotik, orang tua, agamis, dan pluraris atau model
menghargai perbedaan. Sementara model kognitif hanya memiliki sastu model,
model pegalaman dibagi lagi menjadi model pengamalan di sekolah dan model
tindakan di masyarakat.
Model pertama
dari pembelajaran kewarganegaraan dari model kognitif adalah ‘pengetahuan
konstitusional.’ Model ini lebih cocok dipraktekkan di sekolah menengah, karena
pengajaran dengan bentuk sederhana tapi isi yang kompleks terlalu sulit untuk
siswa sekolah dasar. Kewarganegaraan dalam model ini lebih sebagai status
politik masa depan daripada seperangkat hak dan kewajiban yang dihadapi di
dalam kehidupan sehari-hari seseorang. Metode yang diadopsi pendekatan ini
seringkali formal dan didaktik, didomonasi oleh pemberian aliran informasi dari
guru kepada siswa. Keuntungan dari model ini adalah ia lebih mudah dilaksanakan
dan kemungkinan membuat sekolah berkonflik dengan pihak-pihak lain seperti
keluarga atau pemerintah sangat kecil.
Model
selanjutnya adalah model patriotik. Model ini memandang bahwa mempromosikan
loyalitas kepada negara atau masyarakat sebagai perhatian pokok dari pendidikan
kewarganegaraan. Dengan agresifitas atau bentuknya yang kuat, model ini sangat mungkin menjadi propaganda,
mendukung ideology dari pemerintah yang berkuasa seperti kasus di blok Soviet
(contoh Vari-Szilagyi, 1994 dalam Rowe, 2001) dan Austri/German di bawah Nazi
(Dachs, 1995 dalam Rowe, 2001). Control sosial, sebagai lawan kata dari
pengaruh, adalah tujuan utama dari modwl patriotik yang kuat. Beberapa
pemerhati berkeyakinan bahwa model patriotik sangat penting untuk mengembangkan
perasaan memiliki identitas kebangsaan. Sayangnya, semua simbol nasional sangat
mudah memunculkan perilaku superioritas kebangsaan dan senopobia bagi
orang-orang dengan kedewasaan yang tidak matang. Masalahnya adalah bahwa model
patriotik menempatkan kesetiaan terhadap negara di atas rasa hormat kepada
keadilan, kebenaran aau hak-hak universal dari manusia.
Model ketiga
dari model kogntif pembelajaran kewarganegaraan adalah model orang tua. Model
ini terbuka untuk menemui kesulitan menularkan nilai-nilai kewarganegaraan yang
berbenturan dengan nilai-nilai yang dimiliki orang tua. Para orang tua dan guru
yang gagal menyelesaikan masalah kebingunan yang dialami anak-anak dengan
beralasan membuat model ini semakin sulit bagi mereka, dalam waktu yang lama,
dan menanggulanginya dengan cara yang membangun. Jenis moralitas monokultural
yang dipelajari di dalam hubungan primer antara keluarga dan sanak family
mereka mesti ditambah dengan hubungan sekunder, tapi juga penting, moralitas
publik, berdasar pada gagasan dari hak dan kewajiba lebih dari loyalitas dan
kasih sayang.
Model berikutnya
adalah model agama. Model ini mencerminkan kepercayaan bahwa cara paling manjur
mengajarkan kewarganegaraan adaakah melalui pendidikan agama. Kepercayaan agama
secara umum dikenal dengan kewenangan dan standar moral yang jelas dan terlihat
bahwa banyak orang bercaya pengajaran agama merupakan salah satu dari cara-car
paling efektif dalam menanamkan nilai-nilai moral kepada anak-anak.
Kelemahannya, barangkali adalah kurangnya relevansi atau kewenangan bagi mereka
yang kurang atau bahkan tidak beriman sama sekali.
Model terakhir
dari model kognitif pembelajaran kewarganegaraan adalah model pluralis atau
menghargai perbedaan. Model ini beranggapan bahwa manusia mengalami banyak
pertentangan nilai – baik pertentangan dalam diri maupun dalam hubungan mereka
dengan orang lain – yang berdampak bahwa mereka memiliki pandangan berbeda
mengenai persoalan-persoalan publik. Model ini tidak hanya menerima, tapi juga
memanfaatkan, pertentangan nilai karena, seperti Kohlberg (1984) tunjukkan,
berkontribusi member alas an moral yang lebih dewasa. Pertentangan nilai-nilai
itu mengembangkan kesadaran politik dan toleransi warga yang lebih dengan
informasi yang lebih baik (Lipman, 1991). Lebih jauh, seperti Tappan dan Brown
(1996) katakana, menghargai pluralisme adalah apa yang dengan tepat dituntut
oleh ‘pendidikan moral post-modern.’
Tidak seperti
model pengetahuan konstitusional, pendekatan inoi relevan untuk siswa di semua usia.
Bahkan para siswa sekolah dasar mengalami pertentangan konflik ketika mereka
mulai berusaha memahami dunia sosial mereka. Salah satu fungsi dari model ini
adalah mendorong siswa untuk memahami bawha di dalam masyarakat demokratis
adalah ada kepercayaan dengan pandangan-pandangan merugikan yang tidak cocok, akan
tetapi, di waktu bersamaan, ada banyak gagasan lain yang sangat pantas untuk
diperjuangkan. Model menghargai pertentangan ini sangat menuntuk kemampuan guru
dan membutuhkan terciptakanya suasanga kelas di mana para siswa dapat merasa
bebas untuk mengekspresikan diri mereka dan menggunakannya secara konstruktif
dengan pandangan-pandangan orang lain. Dalam membicarakan persoalan-persoalan
sosial dan moral, para guru perlu lebih menggunakan pertanyaan untuk jawaban
yang melibatkan penilaian daripada mengingat. Mereka mesti menghadirkan bentuk
berpikir yang tinggi seperti analisis, perbandingan, dan memberikan alasan
dasar pembenaran. Arti penting model menghargai pertentangan di dalam
mengembangkan toleransi dan pemahaman lintas masyarakat tidak dapat terlalu
ditekankan.
Model lain dari
pembelajaran kewarganegaraan selain kognitif adalah model afektif. Model-model
kognitif memperkuat pemahaman sosial, menjelaskan nilai-nilai dan menciptakan
sebuah kesadaran akan hak-hak, tugas, dan kewajiban. Pemahaman-pemahaman
tersebut sangat penting dalam memotivasi anggota masyarakat untuk melakukan
tindakan-tindakan sosial. Tetapi, manusia memiliki dua sumber motivasi yang
berbeda, dan sumber motivasi yang kedua adalah empati mereka kepada orang lain
(Gibbs, 1991 dalam Rowe, 2001). Empati adalah kemampuan untuk menghargai
perasaan orang lain, kemampuan untuk menerima sudut pandang orang lain dan
seolah merasakan sendiri keadaan emosional orang lain (Damon, 1988 dalam Rowe,
2001). Maka, pendidikan kewarganegaraan harus bisa mendidik perasaan, selain
mendidik pemikiran, tentu. Para siswa harus dibantu untuk memahami bahwa
pendidikan kewarganegaraan pada akhirnya berbicara tentang manusia dan kualitas
hidup mereka di dalam masyarakat. Di semua tingkatan, para siswa mesti
didorong, melalui penggunaan studi kasus, naratif, video dan cara-cara lain,
untuk secara imajinatif, memasuki pengalaman dari orang lain seperti mereka
memikirkan dan mengungkapkan perasaan mereka sendiri. Maka, tujuan-tujuan
afektif mesti juga termasuk di dalam kurikulum. Sayangnya, hingga saat ini,
berdasarkan pejabat-pejabat pemerintah, tujuan-tujuan tersebut jarang disadari.
Selain model
kognitif dan afektif, dalam pendidikan kewarganegaraan, juga dikenal model pengalaman
atau tindakan atau psikomotorik. Model ketiga ini menekankan pentingnya
penyampaian pendidikan kewarganegaraan secara menyeluruh di mana baik model
kognitif maupun afektif secara penuh terlibat, dan kemampuan-kemampuan
kewarganegaraan dipraktekkan. Model pengalaman ini dibagi menjadi dua:
pengamalan di sekolah dan tindakan di masyarakat.
Di sekolah, para
siswa mesti mengalami demokrasi, bukan hanya diberi pengajaran tentangnya.
Dalam konteks model pengamalan di sekolah, bahkan tata terbtib sekolah mesti benar-benar
memperhitungkan konsep-konsep keadilan. Selain itu, pembelajaran
kewarganegaraan juga mesti mendorong para siswa untuk aktif mengenal serta
mengambil tindakan nyata menghadapi persoalan-persoalan yang dihadapi
masyarakat. Beberapa kegiatan yang dapat digunakan pihak sekolah dalam rangka
pembelajaran kewarganegaraan menggunakan model tindakan di masyarakat di luar
jam belajar mereka di antaranya meningkatkan kualitas lingkungan, membantu
orang-orang lanjut usia atau mendukung kegiatan-kegiatan amal di tingkat
nasional maupun internasional.
Pengkayaan
Setelah panjang lebar mengulas model-model pembelajaran yang dapat
digunakan dalam pendidikan kewarganegaraan, di bagian Pengkayaan, laporan ini
akan khusus membahas kegunaan karya sastra sebagai media penyampaian
konsep-konsep yang mesti terkandung di dalam kurikulum mata pelajaran
kewarganegaraan seperti keadilan, kejujuran, hak-hak, tanggung jawab,
peraturan, hukum, kesetaraan, kewenangan, perbedaan, dan persamaan. Penyampaian
pemahaman tentang konsep-konsep tersebut, melaui karya sastra, dapat diupayakan
dengan menanamkan empati dalam diri para peserta didik.
Mar dan Oatley (2008), dalam artikel jurnal yang mereka tulis dikatakan, “The simulation of social experience that
literary narratives afford provides an opportunity for empathic gRoweth.” Dalam
bahasa Indonesia, itu berarti bahwa simulasi dari pengalaman sosial yang karya
sastra berupa narasi hasilkan memberikan kesempatan untuk tumbuhnya empati –
dalam diri pembaca. Narasi kesusastraan – melalui empati yang tumbuh setelah
membacaanya – melatih pembaca untuk memperluas pemahaman terhadap orang lain,
memasukkan dan memahami emosi dan perasaan mereka, dan pada akhinya memahami
diri para pembaca sendiri (Mar and Oatley, 2008). Mengenai ini, Darma (1984)
menjelaskan, “Karya sastra yang baik akan mengajak
pembaca melihat karya tersebut sebagai cermin dirinya sendiri. Dengan jalan
menimbulkan ‘pathos,’ yaitu simpati
terhadap dan merasa terblibat dalam peristiwa mental yang terjadi dalam karya
tersebut.”
Sementara
itu, lebih jauh, Takenaga (2012), dalam sebuah penelitian yang dia lakukan
untuk memahmi manfaat sastra anak dalam pembelajaran Bahasa Inggris sebagai
bahasa asing dan Pendidikan Kewarganegaraan di Jepang menemukan bahwa sastra
anak, dalam konteks pengajaran kewarganegaraan, secara metaforis dapat berperan
cermin dan jendela. Ketika berfungsi sebagai cermin, menurutnya, sastra anak
dapat mempertinggi pemahaman kita akan budaya dan diri kita sendiri. Sementara,
ketika berfungsi sebagai sebuah jendela, Takenaga (2012) menulis “It (children’s literature) can deepen our
understanding of different people and their cultures.” Artinya, bahwa
sastra anak dapat memperdalam pemahaman akan orang-orang dan budaya mereka yang
berbeda.
Analisis
Kritis
Berdasarkan
pengalaman, menggunakan klasifikasi model pendidikan kewarganegaraan yang
dibuat Don Rowe, dalam konteks Indonesia, model pembelajaran yang dominan
dipraktekkan di sekolah adalah patriotik, pengetahuan konstitusional, dan
pluralis. Pemilihan model pembelajaran tersebut memang tidak lepas dari
dinamika politik yang terjadi sejak pemerintah orde baru masih berkuasa. Tetapi,
yang pasti, ketiga model tersebut semuanya merupakan jenis model pembelajaran
kognitif.
Ada
kecenderungan untuk lebih menggunakan model kognitif daripada dua model lainnya
memang, jika melihat bahwa Don Rowe sendiri, dalam bab ini, begitu bersemangat
membahas model pembelajaran ini, tetapi sangat singkat ketika membahas model
pembelajaran afektif dan pengalaman. Di Indonesia, juga beberapa Negara lain
yang pendidikan kewarganegaraannya masih menghadapi berbagai persoalan seperti
kekurangan bahan dan dasar teori, terpisah, atau dilakukan oleh guru yang tidak
terlatih (Rowe, 2001), ada baiknya jika kelemahan-kelemahan dalam pendidikan
kewarganegaraan mulai coba ditutupi dengan mempraktekkan model pembelajaran
afektif dan atau model pengalaman.
Kesimpulan
Ada tiga model
pendidikan kewarganegaraan: kognitif, afektif, dan pengalaman – atau
pskimotorik. Model kognitif dibagi lagi menjadi model pengetahuan
konstitusional, patriotik, orang tua, agama, dan pluralis. Model afektif lebih
menekankan kepada upaya menanamkan empati dalam diri peserta didik. Sedang
model pengalaman – atau psikomotorik – dibagi menjadi model pengamalan di sekolah
dan tindakan di masyarakat.
Model afektif
dalam pendidikan kewarganegaraan dengan tujuan kehadiran empati dalam diri
peserta didik perlu mendapat tempat yang sama besar dengan model kognitif,
melihat bahwa ia merupakan sumber motivasi yang juga berperan besar untuk
manusia melakukan tindakan sosial (Gibs, 1991, dalam Rowe 2001). Berbagai
penelitian berkesimpulan bahwa penggunaan karya sastra terbukti efektif untuk
menanamkan empati kepada peserta didik. Maka, menyadari berbagai permasalahan
yang berhubungan dengan kekerasan, konflik sosial, juga tawuran pelajar masih
sering terjadi, alangkah baiknya jika pendidikan kewarganegaraan mulai melirik
karya sastra sebagai sumber materi pembelajaran yang potensial.
Daftar Pustaka
Darma, Budi. 1984. Sejumlah Esai Sastra. Jakarta: P.T.
Karya Unipress.
Mar, A. Raymond and Oatley, Keith. 2008.
The Function of Fiction is the Abstraction and Simulation of Social Experience.
Perspective on Psychological Science Volume
3 Number 3 2008, pp. 173-187.
Rowee, Don. 2001. Value Pluralism,
Democracy, and Education for Citizenship. In Collins, Insley, and Soler (Eds.).
2001. Developing Pedagogy: Researching
Practice. Hampshire: Sage Publications.
Takenaga, Yuji. 2012. The benefits of the use of children's literature in
English language and global citizenship education in Japan. Forum on Public Policy: A Journal of the Oxford Round Table,
Summer 2012.
Komentar
Posting Komentar