Reformasi dan Politik Puisi *

Lima belas tahun reformasi telah bergulir. Kran kebebasan dibuka. Orang-orang boleh ngomong apa saja, di mana saja, dan kapan saja, selama tidak ada yang merasa dirugikan. Partai-partai baru didirikan. Daerah-daerah menuntut dimekarkan. Empat presiden telah bergantian memimpin selama lima belas tahun reformasi ini. Dan tahun depan, giliran presiden kelima. Berbagai masalah terselesaikan. Berbagai masalah lain sedang coba diselesaikan. Beberapa masalah baru malah bermunculan.
Banyak kalangan mengatakan bahwa dibanding masa pasca-reformasi, negara dirasa lebih tenteram dan nyaman di bawah pemerintahan Orde Baru. Dan saya sepakat. Bukan karena saya lebih menyukai stabilitas negara yang semu di bawah bayang-bayang pengekangan dan utang luar negeri dibanding terjaminnya hak berekspresi dan asasi manusia di tengah terbatasnya akses kepada pendidikan dan kesehatan bermutu serta ketidakberdayaan negara menghadapi arus besar globalisasi di berbagai bidang hari ini. Tapi karena pada saat Presiden Soeharto berkuasa, saya masih belia dan tidak mesti merasa bingung memikirkan apa yang bisa saya lakukan untuk menghidupi diri dan kontribusi apa yang bisa saya berikan kepada masyarakat di sekitar saya.
Di luar itu, pendidikan politik yang mestinya diberikan oleh partai politik, tidak pernah diterima masyarakat secara utuh. Dalam usahanya mengumpulkan suara dukungan, partai politik pun kerap mengusahakannya dengan cara-cara serampangan. Media kaos, spanduk, dan baliho, misalnya, seringkali hanya berisi gambar diri kandidat – entah caleg atau pasangan cabup, cawalkot, cagub, atau capres, nama, nomor, dan kalimat ajakan untuk memilih yang benar-benar kering. Dalam kegiatan-kegiatan kampanye sendiri, paling hanya terdiri dari teriakan dan hasutan kosong dari juru kampanye, satu-dua kalimat dari kandidat, selebihnya euforia. Jarang sekali visi-misi beserta program konkret yang kelak dikerjakan disampaikan kepada calon pemilih secara gamblang.
Peran Puisi
Beruntung, di tengah kesemrawutan ini, puisi masih terus ditulis dan di-publish. Meski dengan susah-payah. Meski, tidak sedikit puisi yang gagal jadi puisi. Termasuk puisi yang gagal tersebut adalah puisi yang hanya ditulis dengan semangat megaloman berdasarkan salah satu ucapan John F. Kennedy, “Jika keadaan politik suatu negara kotor, maka puisi yang akan membersihkannya.”  Sebab, bagaimanapun, ketika puisi diniatkan hadir dengan tujuan di luar dirinya, maka, puisi membatalkan diri sebagai puisi. Puisi tersebut berubah jadi dan hadir sebagai pamflet, pidato, orasi, atau bahkan omong kosong.
Puisi, sejak terpikirkan oleh si penyair hingga dibaca atau didengar publiknya, semata adalah puisi; ia tidak berubah jadi bunga atau senjata; tidak berubah jadi roti bagi yang lapar atau obat bagi yang sakit; tidak juga mengambil tugas dan peran siapa pun atau apapun. Sebab, sebagai puisi, ia memiliki tugas dan peran sendiri, yang, di masa ketika semua terjadi dan berubah sangat cepat seperti saat ini, di mana hubungan antar-manusia menjadi kompleks sekaligus sederhana, tidak mudah dijelaskan. Puisi lahir dari kehidupan di tengah masyarakat si penyair. Karenanya, ketika masyarakat berubah, pun puisi. Tetapi, puisi tetap puisi.
Puisi tidak membersihkan politik suatu negara yang kotor, apalagi menggulingkan sebuah rezim pemerintahan yang lalim. Puisi tidak membuat hubungan antar-manusia menjadi harmonis dan menurunkan angka kriminalitas. Puisi tidak menciptakan lapangan kerja, kemudian membuat seluruh manusia sejahtera. Tetapi, dengan segala perangkat bahasa dan di-luar-bahasa yang dimilikinya, ketika dibaca, diresapi, dihayati, dan dimaknai, puisi telah sempurna menjadi puisi yang berarti suara lain – meminjam istilah yang diberikan Octavio Paz.
Puisi adalah suara milik seseorang, semua orang, atau bukan suara siapa-siapa. Suara yang berasal dari masa lalu, masa kini, dan masa depan. Suara yang pada masa Kerajaan Chou (XI SM – III M) di dataran China sana sungguh-sungguh didengarkan dengan menyebar para ‘pemetik sajak’ ke tengah-tengah masyarakat untuk kemudian dijadikan bahan pertimbangan sebelum membuat kebijakan. Suara yang tidak hanya berisi gambaran kondisi sosial, fisik, psikologi, ekonomi, dan politik individu maupun masyarakat umum, tapi juga mengandung solusi bagi berbagai permasalahan yang terjadi – ketika pembacaan terhadapnya dilakukan dengan benar. Suara, yang mungkin hanya berupa gelombang dan tidak memberi dampak apapun ketika tidak terdengar, apalagi sengaja tidak didengar.
Maka, sangat mengherankan bagi saya ketika banyak mereka yang mengajukan diri menjadi pemimpin daerah atau wakil rakyat dengan mengeluarkan dana yang banyak tapi tidak mau apalagi terbiasa membaca serta menghayati puisi. Sebab hari ini, ketika media-media berekspresi konvensional (selain puisi) telah disisipi atau secara terang-terangan dimuati pragmatisme ekonomis maupun politis, puisi merupakan satu-satunya entitas di mana manusia benar-benar menjadi dirinya. Puisi menjadi satu-satunya entitas di mana aku internal mendapat tempat untuk menyatakan eksistensi dirinya di tengah gempuran hasutan dan penyeragaman kapitalistik. Sebab hanya dari puisilah sebenarnya, melalui pembacaan yang benar, para calon kepala daerah atau wakil rakyat tersebut mengetahui apa yang benar-benar dirasakan dan dibutuhkan – bukan sekedar diinginkan – rakyat kemarin, hari ini, dan besok.
Di akhir tulisan ini, saya tegaskan, kekuasaan – hal yang banyak dikejar para praktisi politik – membutuhkan puisi, tapi tidak sebaliknya. Muhammad Iqbal, seorang pemikir dan penyair sufi terkenal menulis:
Kekuasaan lebih rapuh dari sebutir gelembung air dan
dengan sedesah nafas saja dapat dihancurkan.
Takdir bangsa-bangsa telah dibentuk oleh nyanyi pujangga,
oleh nyanyi pujangga bangsa-bangsa dihancurkan dan kembali dibina.



* Dimuat di Halaman Budaya Harian Pagi
Radar Tasikmalaya, Minggu, 9 Juni 2013

Komentar

Postingan Populer